ANEMIA GIZI BESI
1. LATAR BELAKANG
Anemia gizi besi pada ibu hamil masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dimana angka kematian ibu hamil yang cukup tinggi. Penyebab utama anemia ini adalah kekurangan zat besi. Selama kehamilan terjadi peningkatan kebutuhan zat besi hampir tiga kali lipat untuk pertumbuhan janin dan keperluan ibu hamil (Depkes RI, 1999). Konsekuensi anemia pada ibu hamil dapat membawa pengaruh buruk baik terhadap kesehatan ibu maupun janinnya, keadaan ini dapat meningkatkan morbiditas maupun mortalitas ibu dan anak. Suatu penelitian menunjukkan bahwa angka kematian ibu sebanyak 265/100.000 penduduk berhubungan erat dengan anemia yang dideritanya ketika hamil (Depkes RI, 2007). Keadaan kurang zat besi (Fe) merupakan fenomena yang kompleks (Khomsan, 2003).
Prevalensi anemia ibu hamil belum mengalami perubahan dari tahun 1995-2000, namun Departemen Kesehatan RI sampai dengan tahun 2010 akan berusaha menurunkan prevalensi anemia ibu hamil dari 51% menjadi 40% (Depkes RI, 2000). Sementara dari sumber Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, prevalensi anemia gizi besi (Fe) pada ibu hamil mencapai 40,1% (Depkes RI, 2004).
Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Keadaan kurang gizi besi yang berlanjut dan semakin parah akan mengakibatkan anemia gizi besi, dimana tubuh tidak lagi mempunyai cukup zat besi untuk membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam sel-sel darah yang baru
2. PERANAN / FUNGSI GIZI BESI
Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen : menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin (Sunita, 2001).
Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain :
• Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan tubuh.
• Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
• Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008).
3. EFEK / DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF
Proses kekurangan besi sampai terjadi anemia melalui beberapa tahap. Awalnya terjadi penurunan cadangan besi. Bila belum juga dipenuhi dengan masukan besi, maka lama-kelamaan akan timbul gejala anemia disertai penurunan kadar Hb.
Hasil penelitian imunologi menunjukkan kekurangan besi dalam tubuh dapat meningkatkan kerawanan infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi lebih mudah terserang penyakit infeksi, karena kekurangan besi berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang sangat penting untuk mencegah masuknya kuman penyakit atau infeksi (Ray,1997).
Pada remaja yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan yang optimal dan menjadi kurang cerdas (Depkes RI, 1996). Remaja putri yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan daya konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat merasa lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian, kecerdasan dan prestasi belajar di sekolah (AlMatsier, 2001).
Anemia yang berlanjut semakin parah akan mempengaruhi struktur dan fungsi jaringan epitel, terutama lidah, kuku, mulut, dan lambung. Kuku semakin menipis dan lama kelamaan akan terjadi koilonychia (kuku berbentuk sendok). Mulut terasa panas dan terbakar, serta pada kasus yang parah terlihat licin seperti lilin. Timbul rasa sakit pada tenggorokkan waktu menelan makanan dan selaput mata nampak pucat. Lambung mengalami kerusakan, yang pada akhirnya akan memperberat anemia. Anemia yang terus berlanjut dan tidak ditangani akan mengakibatkan perubahan kardiovaskuler dan pernafasan yang dapat berakhir pada gagal jantung (Haryati, 2004).
Akibat jangka panjang dari anemia pada remaja putri adalah apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya. Karena Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah. Selain itu anemia gizi besi juga dapat menyebabkan gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain) (Depkes RI, 1998).
4. BATAS AMBANG
Batasan hemoglobin untuk menentukan apakah seseorang terkena anemia gizi besi atau tidak sangat dipengaruhi oleh umur. Untuk anak-anak umur 6 bulan-5 tahun, dapat dikatakan menderita anemia gizi besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 11 g/dl, umur 6-14 tahun kurang dari 12 g/dl, dewasa laki-laki kurang dari 13 g/dl, dewasa perempuan tidak hamil kurang dari 12 g/dl, dan dewasa perempuan hamil kurang dari 11 g/dl
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), berdasarkan hasil-hasil penelitian di beberapa tempat di Indonesia pada tahun 1980-an menunjukan bahwa prevalensi anemia pada wanita dewasa tidak hamil berkisar 30-40%, pada wanita hamil 50-70%, anak balita 30-40%, anak sekolah 25-35%, pria dewasa 20-30% dan pekerja berpenghasilan rendah 30-40%. Sedangkan menurut Soekirman et al. (2003) menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi besi mengalami penurunan dari 50,9% pada tahun 1995 menjadi 40% pada tahun 2001. Begitupun pada wanita usia 14-44 tahun mengalami penurunan dari 39,5% pada tahun 1995 menjadi 27,9% pada tahun 2001. Akan tetapi, untuk anak dibawah usia lima tahun Universitas Sumatera Utara angka anemia gizi besi meningkat dari 40,0% pada tahun 1995 menjadi 48,1% pada tahun 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar