Welcome To http://www.cerminan hati al-insan.blogspot.com/ Semoga Bermanfaat.

Kamis, 12 Januari 2012

Karakteristik Tasawuf Sunni dan Falsafi

BAB I PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Tasawuf suni ini, di akui sebagai sufismen yang tetap konsisten dan komitmen dengan ajaran ajaran islam, karena tetap berpegang teguh pada al-qur’an dan sunnah. Oleh karena sipatnya yang demikian, maka tasauf tipe yang awal dapat di terima oleh sebagian besar Ulama terutama Ulama yang tergolong ahli sunnah. Hal ini pulalah salah satu sebab utama penamaan dengan tasauf suni, seperti yang di jelaskan di atas. Seperti yang dijelaskan di atas, perdebatan yang begitu sengit yang terjadi di golongan para sufi telah menyebabkan terpecah menjadi dua kelompok golongan pertama suni dan yang kedua falsafi. Para pengikut golongan ini bahwa persatuan mistis sebagai tujuan terakhir dan tertinggi dalam perjalanan rohani. Kelompok ini terpesona oleh keadaan fana’ sebagai jalan menuju persatuan diri mereka dengan tuhan. Baik dalam bentuk ittihad maupun dalam hulul. Makanya Tasauf yang di anut kelompok ini idsebut “tasauf Semi –falsafi” yang kemudian berkembang dari “tasauf palsafi” dalam bentuk yang lebih jelas dan sempurna, pada abad ke-6 dan ke-7 H.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Karakteristik Tasawuf Sunni dan Falsafi

2. Pemikiran Rabi`ah Al-Adawiyah
BAB II PEMBAHASAN

A. TASAWUF AKHLAKI (TASAWUF SUNNI) DAN KARAKTERISTIKNYA

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaqi, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bernazhab Syafi`i. Adapun karakteristik tasawuf akhlaqi (tasawuf Sunni) antara lain: 1. Melandaskan diri pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur`ani dan Hadist sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada di luar pembahasan al-Qur`an dan hadist. Al-Qur`an dan Hadist yang mereka pahami, kalaupun ada penafsiran, penafsiran itu bersifat hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam. 2. Tidak menggunakan terminology-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat. Terminology-terminologi dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathahat. Kalaupun ada terma yang mirip syathahat, itu dianggapkan merupakan pengalaman pribadi, dan mereka tidak menyebarkannya kepada orang lain. 3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apa pun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dappat menyatu dengan Tuhan. 4. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek bathiniyah) dengan fiqh (sebagai aspek lahiriyah). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham di atas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada pada posisi atau kedudukannya sebagai objek penerima informasi dari Tuhan. 5. Lebih tterkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

B. TASAWUF FALSAFI DAN KARAKTERISTIKNYA Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang filosof. Adapun karakteristik tasawuf falsafi antara lain: 1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul dari dirinya. 2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, ‘arasy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang nampak, dan susunan yang kosmos, terutama tentang penciptanya serta penciptaannya. 3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang brepengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. 4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui atau menginterpretasikannya. Selain karakteristik umum diatas , tasawuf filosofis mempunyai beberapa karakteristik secara khusus, diantaranya : 1. Tasawuf filosofis banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis dan perasaan (dzauq) 2. Seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf filosofis didasarkan pada latihan-latihan rohaniah, yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan. 3. Tasawuf filosofis memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya bias dicapai dengan fana 4. Para penganut tasawuf filosofis ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai symbol atau terminologi. Perlu di catat, dalam beberapa segi, para sufi-filosofis ini melebihi para sufi sunni. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Mereka adalah para teoretisi yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya atau puisi-puisi mereka 2. Kelihaian mereka menggunakan symbol-simbol, sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat dipahami orang lain diluar mereka 3. Kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmu-ilmunya

C. BIOGRAFI RABI`AH AL-ADAWIYAH Rabiah binti Ismail al-Adawiyah adalah wanita sufi ternama dalam sejarah Islam. Ia dikenal sebagai pengagum cinta (mahabbatullah) dan dikenang sebagai ibu para sufi besar (the mother of the grand master). Lahir sekitar tahun 713 Masehi-masa awal kurun kedua tahun Hijriah-di Kota Basrah. Irak. Rabi'ah Al-Adawiyah merupakan tokoh sufi yang dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin, mulai pada saat dia dilahirkan hingga ia tumbuh dewasa. Bapaknya hanyalah seorang pengangguran dan memang memiliki pendirian yang sangat teguh dengan agamanya hingga ketika pada saat detik-detik akhir akan terlahirnya seorang rabi'ah Al-Adawiyah dia telah berjanji tidak akan meminta-minta/memohon kepada orang lain/ciptaan Allah karena dia memiliki pendirian yang teguh bahwasannya hanya Allahlah tempat kita meminta dan memohon Rabiah meninggal dunia di Basrah tahon 801 Masehi, dimakamkan di rumah dimana ia tinggal. Ketika jenazahnya diusung ke pekuburan, orang-orang suci, para sufi, dan orang Islam yang saleh dalam jumlah yang luar biasa banyaknya itu datang mengiringinya. Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.


D. PEMIKIRAN RABIAH AL-ADAWIYAH Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal. Ra'biah al adawiyah adalah seorang wanita filosof (Sufi). Sebagian sufi menjadikan cinta sebagai ajaran pokok dalam tasawuf. Khususnya ajaran Ra'biah adalah tentang Cinta Ilahi. Sejak dia memperkenalkan ajaran ini, cinta Allah menjadi perbincangan kaum sufi . Sebelumnya yang menjadi perbincangan utama adalah khauf ( rasa takut ) dan raja' ( pengharapan ). Ra'biah juga disebut sebagai orang pertama yang menjadikan Cinta Ilahi sebagai obyek utama puisi. Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut neraka... bukan pula karena mengharap masuk surga ... Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya Ya Allah, jika aku menyembah-Mu kaena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakanlah aku darinya Tetapi, jika aku menyembah-Mu, demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku Alangklah buruknya, orang yang menyembah Allah karena mengharap surga dan ingin diselamatkan dari api neraka Seandainya surga dan neraka tak ada Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya? aku menyembah Allah karena mengharap ridha-Nya nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya sudah cukup menggerakkan hatiku untk menyembah-MU Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen. Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa. Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta. Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta. Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta. Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.” Keprihatinan yang menimpa rabi'ah kecil telah menempanya menjadi seorang sufi yang rendah hati. Kesederhanaan dan keteguhan hatinyanya dalam memegang keyakinan beragamannya telah mengantarkan dia kepada CINTA ILAHIYAH diatas segalanya, tiada seorangpun yang dicintainya kecuali Allah. Hingga ada beberapa ulama besar yang datang kepada rabi'ah dan ingin meminangnya, diantaranya adalah Hasan Bashri, Malik bin Dinar dan Tsabit al-Banani. Dalam kisahnya Hasan memulai pembicaraan dan berkata "wahai rabi'ah, nikah itu merupakan sunnah Rasulullah SAW, untuk itu silahkan engkau memilik salah seorang diantara kami sebagai calon suamimu." Rabi'ah berkata "baiklah tuan-tuan yang terhormat namun aku berhak mengajukan syarat. Selama ini aku mempunyai beberapa permasalahan, barangsiapa diantara kalian yang mampu memecahkan permasalahan itu, dialah yang berhak menikahi diriku, ". Rabi'ah kemudian melontarkan masalahnya yang pertama kepada Hasan Al-Bashri untuk memecahkannya. "Menurut tuan, kelak di hari kiamat aku termasuk golongan mana? apakah aku termasuk golongan yang akan masuk neraka atau yang akan masuk surga?", Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Lalu Rabi'ah berkata lagi, "Menurut tuan, aku ini termasuk manusia yang celaka atau manusia yang bahagia, ketika Allah SWT menciptakan diriku dalam kandungan ibuku?", Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Pertanyaan berikutnya, "Menurut tuan, aku termasuk golongan yang mana ketika seseorang diseru nanti, apakah golongan yang diseru "janganlah kamu gentar atau bersedih", ataukah golongan yang akan diseru, "Tidak akan ada rasa gembira bagimu"? Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Selanjutnya, "Menurut tuan, kuburanku nanti termasuk taman surga atau galian neraka?" Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Kemudian "Menurut tuan, wajahku kelak dihari kiamat termasuk wajah yang putih berseri ataukan wajah yang hitam kelam dan bermuram durja?" Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Lalu Rabi'ah menyampaikan pertanyaan yang terakhir "Menurut tuan, aku termasuk golongan yang mana kelak dihari kiamat, ketika masing-masing manusia dipanggil, 'Fulan bin fulan bahagia, ataukah dipanggil 'Fulan bin fulan celaka'?" Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti" sambil menahan malu. Akhirnya ulama'-ulama' tersebut pulang dari rumah Rabi'ah dengan tangan hampa dan penuh penyesalan, tidak ada satu orangpun yang mendapatkan hati Rabi'ah sang Sufi agung dengan CINTA ILAHIYAH-nya. Kecintaan Rabi'ah terhadap Allah mengalahkan segalanya yang ada didunia. Dari sekian banyak tokoh sufi yang ada hanya Rabi'ah Al-Adawiyahlah yang hingga saat ini tidak ditemukan karyanya tentang konsep Mahabbah sufi yang dianutnya padahal banyak sekali karya-karya setelah dia yang menulis konsep pemikiran Mahabbah Rabi'ah Al-Adawiyah. Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. T etapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.” Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Rabiah punya banyak murid yang keras, termasuk Malik bin Dinar, Raba al-Rais, Sheikh al Balkhi, dan Hasan Basrah. Mereka sering mengunjungi Rabiah untuk mendapatkan nasihat, doa, atau untuk mendengarkan ajarannya. Pada suatu hari, Sufyan Suri, seorang yang saleh dan dihormati datang pada Rabiah, mengangkat kedua belah tangannya dan berdo’a: “Tuhan Yang Maha Kuasa, saya memohon harta duniawi dari Mu”. Mendengar isi do’a itu Rabiah pun menangis. Ketika ditanya kenapa menangis, ia menjawab: “Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat anda hanya mencarinya di dunia saja”. Terbetik berita, ada orang yang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan mengangkat tangannya ke atas, “Engkau tahu Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari Mu, meskipun Kau lah Pencipta dunia ini. Lantas, bagaimana aku dapat menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?”. Ia melarang murid-muridnya untuk menunjukan perbuatan baik mereka pada siapapun. Mereka malahan diharuskan menutupi perbuatan baik itu seperti menutup-nutupi perbuatan jahat mereka. Segala penyakit datangnya atas kehendak Tuhan, karena itu Rabiah selalu memikulnya dengan ketabahan hati dan keberanian. Rasa sakit yang bagaimanapun tidak pernah mengganggunya, tidak pernah menarik perhatiannyadari pengabdiannya pada Tuhan. Sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya yang terluka sampai ia diberitahu oleh orang lain. Suatu hari, kepalanya terbentur pada sebatang pohon sehingga berdarah. Seorang yang melihat darah bercucuran itu dengan hati-hati bertanya:”Apakah anda tidak sakit?”, “Aku dengan seluruh jiwa ragaku mengabdi kepada Allah Swt. Aku berhubungan erat dengan Nya, aku disibukan-Nya dengan hal-hal lain daripada yang pada umumnya kalian rasakan”, jawabnya dengan tenang. Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.” Rabiah ialah seorang mistik yang paling terkemuka yang mengajarkan kasih sayang kepada Tuhan tanpa pamrih. Konsepnya yang kemudian meluas: “Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apapun. Jangan takut pada neraka, jangan mendambakan surga, aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi, aku berkewaijban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja”. Pada suatu ketika ada orang yang bertanya apakah ia membenci setan? Jawabannya: “Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan”. Banyak ungkapan yang ia ciptakan. Waktu ia ditanya: “Sebab apa ia tidak mau minta bantuan sahabat-sahabatnya? “, Ia menjawab: “Saya akan malu meminta materi dunia ini daripada-Nya,padahal materi itu kepunyaan-Nya. Jadi, mengapa saya harus minta sesuatu dari orang yang tidak memilikinya?”. “Apakah Allah akan melupakan yang melarat karena kemelaratannya atau akan mengingat yang kaya karena kekayaannya? Karena Dia mengetahui keadaanku, maka sama sekali tidak ada gunanya menarik perhatian-Nya kepada saya. Apa yang dikehendaki-Nya, itulah yang menjadi kehendak kita!”. Banyak keajaiban dihubungkan dengan Rabiah, keajaiban milik orang suci. Rabiah mendapatkan makanan dari tamu-tamunya melalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya meninggalkannya, dan ia menyilakan para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab: “Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”. Di antara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah, ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan pasangannya, dan disinilah aku sendirian bersama Engkau”. Do’a lainnya: “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut ‘kan neraka, bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena harap ‘kan surga, jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Kau tutup keindahan Abadi-Mu”.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Konsepsi Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah merupakan tasawuf yang masih asing dikalangan sufi semasanya, oleh karena belum adanya seorang sufi yang memperkenalkan sebelumnya, jadi beliau adalah peletak dasar dari ajaran tasawuf Mahabbah ini. Mahabbah ( المحبه ) adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada Mahabbah antara lain adalah sebagai berikut : 1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadaNya. 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi 3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi Rabi’ah dipandang sebagai pelapor tasawuf Mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT).

B. SARAN

Kami yakin dalam penyusunan makalah ini belum begitu sempurna karena kami dalam tahap belajar, maka dari itu kami berharap bagi kawan-kawan semua untuk memberi saran dan usul serta kritikan yang baik dan membangun sehingga makalah ini menjadi sederhana dan bermanfaat dan apabila ada kesalahan dan kejanggalan kami mohon maaf karena kami hanyalah hamba yang memiliki ilmu dan kemampuan yang sangat terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar