BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai ijtihad memang menarik. Ijtihad salah satu sumber inspirasi guna memacu Islam menyesuaikan dirinya dengan percepatan zaman. Tanpa ijtihad sama artinya mengembalikan kehidupan era millenium ini sesuai dengan seribu empat ratus tahun lalu. Mungkin umat Islam perlu memikirkan unta (lagi) sebagai ganti mobil dan kereta api selain sebagai alat transport yang ramah lingkungan juga sesuai dengan sunnah nabi yang senantiasa hilir mudik dengannya.
Ijtihad juga merupakan satu kata kunci guna dapat memahami Islam. Mengingat proses ijtihad membutuhkan kemampuan komprehensif seorang pemikir Islam (baca: mujtahid) atas ilmu-ilmu Islam dan tentunya ilmu-ilmu lain dan metodologi yang memiliki kaitan erat dalam proses penyimpulan sebuah hukum syariat.
Sayangnya, usaha memperbaharui pemahaman Islam (dengan tanpa melupakan usaha yang telah dilakukan) kemudian menjadi terbalik. Dengan slogan yang sama yaitu meneruskan tradisi ijtihad dengan penguasaan yang baik terhadap ilmu-ilmu dan metodologi yang berkembang sekarang namun dengan kemampuan ilmu-ilmu Islam yang tidak sebanding. Fenomena ini memang berbanding terbalik dengan mayoritas ulama
sebelumnya yang minim akan ilmu-ilmu dan metodologi yang dapat mendongkrak kualitas hasil penyimpulan hukumnya. Walaupun hal ini masih ditolerir mengingat perkembangan metodologi di dunia barat lebih dahulu terjadi.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan kurangnya informasi seorang pemikir Islam mengenai aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Tarik saja dari masalah ushuluddin hingga furu’uddin. Ini sering tidak menjadi fokus perhatian mereka yang ingin mengkaji sesuatu dan akan mengatasnamakan kajiannya sebagai pandangan Islam. Katakanlah bahwa pemetaan perbedaan pemikiran telah dilakukan, hal yang masih harus dipertanyakan adalah informasi perbedaan tersebut lebih sering bukan dari sumber-sumber pertama. Selain secara ilmiah hal masih perlu dipertanyakan, akan semakin ruwet lagi bila penukilan tersebut jatuh ke tangan mereka yang membenci pemikiran lain.
Akhirnya, alih-alih ijtihad membawa cakrawala baru bahkan menambah pekerjaan rumah yang telah menumpuk. Kenyataan ini menuntut sebuah langkah serius untuk membenahi dan menata kembali pranata ijtihad. Banyak sekali pertanyaan yang berkaitan dengan ijtihad yang selama ini jangankan dikaji dilirik pun tidak pernah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Ijtihad
2. Perkembangan Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad artinya adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
Ijtihad menurut ulama Ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Sementara itu, sebagian ulama yang lain memberikan definisi ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum syara` maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Demikian menurut ulama ahli ushul.
Dari pengertian tentang ijtihad sebagaimana disebutkan di atas, maka ijtihad mengandung dua faktor :
1. Ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan penjelasannya. Pengertian ini adalah pengertia ijtihad yang sempurna, dan dikhususkan bagi ulama yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan hukum-hukum furu` amaliyah dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci.
2. Ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama sepakat bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid dalam kategori ini.
Tugas dan fungsi dari ulama yang termasuk dalam mujtahid tingkat kedua ini adalah menerapkan qiyas dengan teliti (tahqiq al-manath).
B. PERKEMBANGAN IJTIHAD
Persoalan utama dalam membahas perkembangan ijtihad adalah : semenjak kapan ijtihad itu mulai ada (berlaku); apakah pada masa kini ini masih berlaku dan bagaimana kemungkinan berlakunya untuk masa mendatang.
Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad tentu kita akan menoleh ke masa paling dini dari keberadaan hukum islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ijtihad telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini karena secara umum diketahui bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu tidak menemukan petunjuk Allah secara jelas tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi; sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash sudah tidak ada lagi, karena ayat Al-Qur`an masih dapat menyampaikan petunjuknya.
1. Ijtihad pada Masa Nabi
Pembicaraan mengenai ijtihad pada masa Nabi mengandung beberapa bahasan, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh nabi dan ijtihad yang dilakukan oleh sahabat pada masa Nabi. Kemudian, kedua bahasan ini ditinjau dari segi kedudukannya sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah melakukan ijtihad, dan apakah Nabi boleh berijtihad. Di sisi lain Nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa berbicara dan melakukan sesuatu yang tentu tidak mungkin keseluruhannya sebagai wahyu.
2. Metode Ijtihad Nabi
Suatu kenyataan bahwa nabi telah melakukan ijtihad sehubungan dengan adanya pertanyaan sahabat yang dihadapkan kepadanya. Tentang bagaimana caranya dan metode apa yang digunakan Nabi dalam melakukan ijtihad itu, kelihatannya jawaban yang diberikan nabi adalah dalam bentuk ijtihad dengan mencari kesamaan dengan kasus yang telah ditemukan hukumnya dalam wahyu atau sunah yang telah berlangsung. Cara seperti ini dalam ijtihad disebut qiyas .
3. Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi
Bila pada masa hidup Nabi ternyata Nabi sendiri melakukan ijtihad, baik dalam kasus yang terjadi di tempat dan sepengetahuan dari Nabi. Alasan sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi, adalah karena terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sedangkan untuk menghubungi dan meminta jawaban dari Nabi terlalu lama (memakan waktu) jika tempatnya jauh. Adapun sahabat berijtihad dalam menetapkan hukum bagi kasus yang terjadi di tempat yang dekat Nabi, adalah karena ada rasa aman; seandainya salah pun tentu akan segera dibetulkan Nabi.
Hadis yang populer mengenai sikap Mu`adz ibn Jabal untuk melakukan ijtihad, menunjukkab bahwa ia berijtihad sewaktu ia berada di Yaman dan ternyata dibenarkan bahkan dipuji oleh Nabi.
4. Ijtihad pada Masa Sahabat
Bila pada masa Nabi masih hidup telah terjadi ijtihad yang dilakukan Nabi atau oleh para sahabat ketika tidak ditemukan petunjuk dalam menghadapi suatu masalah hukum karena tempatnya berjauhan dari Nabi atau wahyu terlambat turun, maka setelah Nabi wafat pelaksanaan ijtihad oleh para sahabat semakin banyak terjadi. Penyebab sering terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang menuntut jawaban hukum semakin banyak, sebab semakin maju dan berkembangnya kehidupan sosial yang memunculkan masalah baru yang memerlukan jawaban hukum, sedangkan wahyu sebagai sumber hukum sudah terhenti sama sekali, baik wahyu yang tertulis (Al-Qur`an), maupun wahyu yang tidak tertulis (sunnah Nabi).
5. Bentuk Ijtihad Sahabat
Ijtihad sahabat setelah wafatnya Nabi dapat dikelompokkan kepada beberapa bentuk sebagai berikut :
a. Ijtihad dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash .
b. Ijtihad untuk menetapkan hukum yang baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya dalam nash untuk ditetapkan bagi kasus tersebut yaitu disebut juga dengan Qiyas.
6. Ijtihad pada Masa Tabi`in
Masa tabi`in adalah suatu masa sesudah sahabat. Tabi`in itu, pengertiannya secara arti kata adalah “pengikut”, sedangkan dalam arti yang biasa digunakan adalah “orang-orang yang mengikut sahabat”. Tabi`in ini tidak pernah bertemu dengan Nabi, tetapi mereka bertemu dan mendapati orang-orang yang langsung bertemu dengan Nabi (sahabat).
Cara ulama tabi`in melakukan ijtihad adalah mengikuti cara yang sudah dirintis sebelumnya oleh sahabat. Mereka menggunakan Al-Qur`an dan Sunah Nabi sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka mengikuti ijma` sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Ijma`, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Disamping itu, mereka menggunakan ra`yu sebagaimana yang dilakukan sahabat. Dalam penggunaan ra`yu sedapat mungkin mereka tempuh melalui qiyas.
7. Ijtihad pada Masa Imam Mazhab
Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”.
Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk kepada dalil syara` dan menghasilkan temuan orsinal. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak selalu sama.
Di antara mazhab fiqh dan imamnya yang terkenal adalah :
1. Mazhab Hanafiyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H);
2. Mazhab Malikiyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H);
3. Mazhab Syafi`iyah. Imamnya Muhammad ibn Idris as-Syafi`i (150-204 H);
4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hambal (164-241 H);
5. Dan lain-lain
8. Ijtihad pada Masa Sesudah Imam Mazhab
Bila pengikut imam mazhab menemukan suatu peristiwa yang memerlukan jawaban hukum, mereka tidak lagi melakukan ijtihad tetapi cukup mengikuti apa yang telah ditetapkan imam mazhab sebelumnya, kadang-kadang tanpa mempertanyakan relevansi dan ketepatan. Dalil yang digunakan imam mazhab itu untuk peristiwa baru yang muncul kemudian. Juga tidak dipersoalkan apakah pendapat imam mazhab itu masih dapat diterapkan di tempat dan masa kemudian yang sudah jauh berubah. Masa ini biasa disebut masa taqlid yang berlangsung lama.
Kondisi pada masa pudarnya kegiatan ijtihad dan berkembangnya taklid itu diperparah lagi dengan keadaan negara-negara yang berpenduduk muslim yang hampir semuanya jatuh dibawah penjajahan kolonial barat.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengertian ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Dasar hukum di bolehkannya ijtihad, firman allah yang artinya “sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang allah mengetahui kepadamu.”
Hukum melakukan ijtihad adalah :
1. Fardhu ‘ain : apabila ada permasalahan yang belum ada hukumnya, jika tidak segera di jawab khawatir terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum.
2. Fardhu kifayah : permasalah yang di ajukan tidak di khawatirkan akan habis waktunya.
3. Sunnah : berijtihad dalam permasalan yang baru, baik di Tanya atau tidak.
B. SARAN
Kami yakin dalam penyusunan makalah ini belum begitu sempurna karena kami dalam tahap belajar, maka dari itu kami berharap bagi kawan-kawan semua bisa memberi saran dan usul serta kritikan yang baik dan membangun sehingga makalah ini menjadi sederhana dan bermanfaat dan apabila ada kesalahan dan kejanggalan kami mohon maaf karena kami hanyalah hamba yang memiliki ilmu dan kemampuan yang terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, Muhammad Zahrah. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2010.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2008.
http://kang-istigfar.blogspot.com/2009/06/ijtihad-dan-mujtahid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar